Senin, 25 Mei 2009

sambungan...

SECANGKIR MUSIK KLASIK

3 minggu kemudian, atribut Natal sudah dilepaskan, tahun baru mulai disongsong dan universitas-universitas telah membuka kelas-kelas khusus. Aku memutuskan untuk mengambil kelas sastra. Kegilaanku pada penulis seperti Shakespeare membuatku tertarik pada bidang ini. Lebih dari 1 minggu keberadaan kami di sini rasanya sudah cukup untuk mengasah English kami. Di universitas yang tersohor di penjuru dunia ini, aku bertemu dengan student dari berbagai bangsa, suku, ras, agama dan tentu saja kepribadian yang beragam. Sangat beruntung aku bertemu teman-teman yang ramah dan bersedia menolongku jika ada pelajaran yang tidak aku pahami, terlepas dari anggapan orang tentang kebudayaan barat yang cuek alias "elo elo, gue gue". Di sini penuh kehangatan dan kadang ada saja banyolan-banyolan lucu dari si pria British, John, dan menambah eratnya hubungan pertemanan kami.
Sore ini setelah pulang dari kuliah, aku kembali menapakkan kakiku di trotoar depan rumah penghasil musik klasik asli dari piano bukan dari mesin pemutar kaset. Kali ini terdengar alunan Nocturne ini E, yang seakan mengajak pendengarnya untuk berdansa dan menarikku ke depan pintu rumah itu. Tak lama aku berpikir, langsung ku ketuk pintu rumah bercat putih tulang itu. Keluarlah seorang nenek bermata sipit khas Asia
"maaf, ada yang bisa saya bantu ?"
"saya Anis, rumah saya di blok B"
Kemudian nenek itu mempersilahkan aku masuk dan kami mulai berbincang.
"saya sering lewat sini dan sering mendengar lagu-lagu klasik dari piano, andakah yang memainkannya ?"
"oh bukan, cucu saya yang memainkannya, dia memang sangat menyukai musik klasik dan piano"
Mereka adalah orang Jepang dan nama cucu nenek itu adalah Natsumi. Beberapa saat kemudian sang nenek menuju dapur dan membawakaanku segelas teh dan juga beberapa cookies.
"sejak umur 1 tahun Natsumi ditinggalkan oleh kedua orangtuanya. Orangtuanya adalah konsultan di negara Prancis dan mereka mendapat musibah kecelakaan saat pulang ke Jepang"
"mengapa anda dan cucu anda tidak tinggal di Jepang ?"
"saat berumur 7 tahun Natsumi melihat keindahan kota di Inggris dari buku-buku dan televisi lalu tertarik untuk tinggal di Inggris"
"bolehkah saya bertemu dan bercengkrama dengan Natsumi ?"
"tentu, silahkan, sudah lama Natsumi menantikan seorang teman"
Nenek lalu mengantarku ke ruang tengah, sebuah piano tersandar di bawah lukisan wanita Jepang dan sesosok gadis remaja kira-kira berumur 12 atau 13 tahun asyik membuka-buka kertas yang tampak lusuh dengan rentetan not balok dan garis nada.
"hai Natsumi" Natsumi hanya tersenyum simpul. Kusambangi kursi yang di dudukinya dan mulai ingin bercakap-cakap lagi.
"kamu terlihat sangat berbakat, berapa usiamu sekarang ?" Natsumi tidak menjawab dan hanya menggerak-gerakkan jarinya, seperti ada sebuah isyarat yang tersembunyi di baliknya. Lalu sang nenek langsung menjawab kebingunganku
"malang nasibnya, waktu bayi ia divonis memiliki kerusakan pada salah satu bagian otaknya yang mengakibatkan ia bisu, tapi saya akan dengan senang hati membantumu menerjemahkan isyarat-isyaratnya"
Lama aku bercakap-cakap, Natsumi memainkan Melodies of Life, soundtrack game terkenal di Jepang bahkan di Asia. Sempat aku mendegar lagu itu dari komputer kakakku. Kata sang nenek, Natsumi tidak mau bersekolah dan berinteraksi dengan orang-orang di luar rumah karena kekurangannya itu, tapi neneknya tidak pernah lelah mengantar Natsumi ke perpustakaan. Natsumi sangat gemar membaca dan tentu saja bermain musik. Darah seninya diturunkan oleh ibunya yang seorang pianis di kedutaanbesar Prancis. Natsumi adalah anak yang cerdas, guru pianonya tidak susah untuk mengajarinya, Natsumi cepat menangkap semua instruksi, bahkan kadang ia mulai menulis komposisi musik sederhana, menuangkannya ke dalam not-not balok, nenek dan guru piano Natsumi tentu sangat bangga dan sayang kepadanya. Waktu sudah hampir malam, adzan Magrib dari ponselku mulai berbunyi, lalu aku berpamitan dengan Natsumi dan neneknya.
Setelah pertemuanku dengan Natsumi sore itu, aku lebih sering mengunjunginya, tak jarang kubawakan ia oleh-oleh sebatang coklat yang harum dan lezat buatan tanah Italia yang kubeli di toko seberang restoran cepat saji asal negeri Paman Sam dekat rumah kami. Lebih sering pula aku mendengarkan alunan symfoni dari lincahnya jari-jari Natsumi. Kadang, jika aku mampir ke perpustakaan aku pinjamkan Natsumi buku-buku dan novel yang bagus.
Pagi ini, saat aku sedang tidak ada kelas seharian, kubawakan Natsumi buku Totto-Chan, ia sangat senang membacanya. Totto-Chan adalah salah satu buku favoritku, karena berkisah tentang perjuangan seorang guru yang mendirikan sebuah sekolah dasar di gerbong kereta yang sudah tidak terpakai dan kisah tentang kepolosan gadis kecil bernama Totto-Chan yang sangat bahagia dengan kelas gerbongnya dan kebiasaan-kebiasaan unik yang selalu dilakukan di sekolah. Hampir seharian Natsumi menyantap bukunya sambil duduk di kursi kayu dekat jendela yang menghadap ke kebun. Seharian pula aku berada di dapur bersama nenek yang mengajariku untuk memasak masakan Jepang dan Eropa. Senang rasanya bisa langsung diajari oleh mantan chef tanpa membayar. Bahan-bahan lengkap tersedia, setelah hidangan selesai kami menikmatinya bersama-sama sambil berbincang dan kadang sambil bercanda. Sebagai hadiah, nenek Natsumi memberiku oleh-oleh sekotak lumpia udang khas Jepang untuk kunikmati bersama Putri.
Tidak terasa 2 tahun sudah kulalui di negeri yang indah ini. Kebersamaanku bersama Natsumi pun hampir berakhir. Ujian sudah kujalani dan hasilnya akan keluar besok. Minggu depan aku akan berkemas-kemas untuk pulang kembali ke negara tercintaku, Indonesia. Sudah tak tahan lagi rasanya ingin menyantap soto ayam buatan mama, bakso bang Benu dan sate ayam di sampig jalan SMA ku dulu, rasanya hmmm tak tertandingkan!. Oleh-oleh untuk sanak saudara dan teman-teman sudah lengkap kubeli. Tak lupa titipan Randy, sebuah miniatur jam Big Ben sudah kubungkus rapi. Hangatnya secangkir lagu klasik dari piano harus ku tinggalkan, tapi bukan berarti aku tak lagi mendengar lagu-lagu klasik itu, cd dari Randy masih setia ku putar. Selamat tinggal Inggris, selamat tinggal salju yang lembut dan selamat tinggal Natsumi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar